Viva Hippocrates!
merupakan jargon yang dielu-elukan ketika kita berada di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud). Sejauh pengetahuan kami, jargon tersebut sudah dilafalkan sebelum tahun 1996. Terlepas semenjak kapan jargon tersebut mulai dilafalkan, jargon tersebut telah membentuk identitas kita, mahasiswa dan alumni FK Unud. Akan tetapi, hingga sekarang, kita tidak pernah membahas mengenai identitas kita sebagai pelafal jargon Viva Hippocrates tersebut.
Sebelum kita menelaah identitas kita sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, kita akan membahas identitas terlebih dahulu. Identitas merupakan aktualisasi diri dari tiap orang terhadap masyarakat. Identitas ada karena dibangun secara perlahan, bukan ditemukan. (Castells, 2009). Sebagai contoh: ketika saya mengatakan bahwa saya bangga menjadi alumni SMA X, rasa bangga tersebut adalah hasil dari proses pembentukan identitas sebagai siswa SMA X, dan, mungkin, penemuan rasa bangga tersebut mungkin terkesan secara tiba-tiba.
Kita, sebagai aktor sosial, dapat memiliki banyak identitas. Hal ini disebabkan karena kita memiliki kebebasan dalam membangun identitas mana yang mau kita maknai. Sebagai contoh: saya merupakan mahasiswa FK Unud, yang beragama X, dan bekerja di salah satu lembaga mahasiswa FK Unud. Saya dapat memaknai identitas diri saya sebagai mahasiswa FK Unud, atau sebagai mahasiswa dari salah satu ormawa FK Unud, atau sebagai mahasiswa beragama X, atau bahkan ketiganya. Hal ini tergantung dari saya, sebagai aktor sosial, yang menentukan konstruksi identitas itu sendiri.
Identitas memiliki pengaruh yang lebih besar daripada peran. Hal ini disebabkan karena konstruksi identitas terjadi berasal dari diri sendiri kepada masyarakat dan berdasarkan kesadaran diri dari setiap aktor sosial, sementara peran berasal dari tanggung jawab yang diberikan oleh institusi terhadap aktor sosial, yang bergantung pada kedudukan aktor sosial terhadap institusi yang ditempatinya. Tanpa adanya tanggung jawab yang diberikan oleh institusi, aktor sosial dapat meninggalkan institusi tersebut karena ikatannya hanya terbatas pada tanggung jawab tersebut. Berbeda dengan peran, aktor sosial akan merasa terikat karena rasa kepemilikannya terhadap masyarakat, meskipun ia tidak memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat tersebut. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa peran yang diberikan oleh institusi belum cukup untuk mengikat aktor sosial terhadap masyarakat.
Identitas kita sebagai mahasiswa/alumni FK Unud, pelafal Viva Hippocrates, merupakan legitimizing identity. Legitimizing identity merupakan identitas yang terbangun pada masyarakat karena adanya perangkat yang membangun identitas tersebut terhadap aktor sosial-aktor sosial lainnya. Perangkat tersebut merupakan institusi yang berisikan aktor sosial dengan peran sesuai jabatannya pada institusi tersebut. Perangkat tersebut merupakan dekanat dan lembaga mahasiswa, dan aktor sosial yang berada pada masyarakat tersebut adalah tiap civitas akademika FK Unud yang berada pada FK Unud. Apabila saya, sebagai aktor sosial, telah membangun identitas FK Unud pada diri saya dan saya juga merupakan salah satu orang yang berasal dari institusi FK Unud maka saya dapat memaknai identitas yang saya terima sebagai aktor sosial dan saya dapat menyebarluaskan identitas tersebut karena saya memiliki peran sebagai institusi tersebut.
‘Legitimizing identity generates civil society’
Civil society yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terstruktur dimana tiap aktor sosial memiliki perannya masing-masing, sebagai masyarakat biasa atau pun sebagai perangkat. Melalui power atau kekuasaan, perangkat melakukan pengakaran identitas kepada tiap aktor sosial lainnya sehingga memunculkan identitas yang diinginkan bersama. Berkaitan dengan teori Gramsci mengenai civil society, keberadaan civil society memiliki berfungsi sebagai kekuatan dalam melakukan pergerakan, seperti dengan cara demokrasi, yang membantu civil society tersebut ke arah yang lebih baik (Katz, 2006). Selain menggunakan peran yang diberikan terhadap aktor sosial lewat institusi, civil society tersebut menggunakan identitas untuk mengikat masyarakatnya. Menggunakan identitas, aktor sosial yang tidak menjadi termasuk dalam institusi, yang berada pada masyarakat, akan memiliki keterikatan untuk membawa civil societynya menjadi lebih baik. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa perangkat dari civil society tersebutdapat berkuasa berlebihan dan melegitimasi kekuasaannya terhadap aktor sosial lainnya, melakukan abuse of power. Secara singkat, pada civil society yang dipersatukan oleh identitas, terjadi dinamika kekuasaan yang bertujuan untuk membawa civil society tersebut sesuai dengan yang dikehendaki (Castells, 2009).
Menggunakan pandangan tersebut, kita dapat menganalogikannya ke FK Unud. Perangkat-perangkat tersebut memiliki pengaruh terhadap aktor sosial dalam membentuk civil society melalui penanaman identitas FK Unud. Perangkat tersebut adalah institusi di FK Unud, dekanat dan organisasi kemahasiswaan; aktor sosial tersebut adalah masing-masing dari civitas akademika FK Unud; dan civil society tersebut adalah FK Unud sendiri. Dekanat dan organisasi kemahasiswaan menanamkan identitas kepada civitas akademika FK Unud lainnya sehingga FK Unud untuk berdinamika membentuk FK Unud lebih baik. Tanpa adanya identitas, tidak ada keterikatan antara setiap civitas akademika FK Unud terhadap FK Unud dan FK Unud yang dikehendaki tidak dapat terbentuk karena tidak adanya dinamika tersebut. Pemahaman bahwa kita, sebagai aktor sosial dan perangkat, yang berada pada FK Unud memiliki peran untuk membangun identitas tersebut merupakan hal yang penting dalam membangun FK Unud lebih baik.
Menelaah Identitas Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
‘Life can only be understood backwards, but it must be lived forwards’
Soren Kierkegaard
Setelah kita memahami pembentukan dan fungsi dari identitas tersebut, kita dapat mengkontekstualisasikannya terhadap FK Unud. Pertanyaan sederhananya adalah seperti apa identitas mahasiswa FK Unud? Apa yang membedakan mahasiswa FK Unud dengan fakultas lain, atau FK lain? Atau nilai-nilai apa saja yang dimiliki oleh FK Unud? Untuk memahami identitas FK Unud secara komprehensif, kita harus menggali nilai-nilai FK Unud. Nilai-nilai tersebut merupakan pecahan-pecahan yang membentuk identitas. Penggalian nilai pun dapat dikatakan sulit karena tidak banyak data yang dapat kami himpun dan sangat memungkinkan bahwa kami melakukan kesalahan. Namun, bukan berarti kami tidak akan mencoba menggali nilai-nilai FK Unud. Untuk meninjau identitas yang berada pada FK Unud, setidaknya terdapat tiga kacamata yang kami gunakan: 1) Menelaah secara historis pembentukan FK Unud hingga sekarang; 2) Melihat statuta FK Unud.; 3) Memahami jargon Viva Hippocrates lebih komprehensif.
1.
Menelaah Menggunakan Sudut Pandang Sejarah FK Unud
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana berdiri tepat pada tahun 1962 melalui semangat nasionalisme dan dorongan dari Gubernur Bali pada saat itu, A.A.B. Sutedja, dan Presiden Republik Indonesia pada saat itu, Ir. Soekarno. Salah satu latar belakang didirikannya FK Unud adalah, pada saat itu, Bali kekurangan dokter. Tercatat hanya terdapat tak lebih dari 20 dokter, termasuk 8 dokter asing. Harapannya, pembentukan FK Unud merupakan solusi dari masalah kekurangan tenaga kesehatan di Bali. (Pangkahila, 1987)
Sebelum diresmikan, pada tahun 1959, Dr. A.A. Made Djelantik dilantik sebagai Kepala Dinas Kesehatan Daerah Bali. Dr. A.A. Made Djelantik merupakan tokoh yang dipercaya oleh Gubernur Bali dan Presiden Indonesia untuk merealisasikan terbentuknya FK Unud. Tercatat, pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 12 Mei 1961 untuk membahas pembentukan universitas di Bali. Setelah pertemuan tersebut, terbentuklah formatur fakultas, dan formatur fakultas kedokteran menginisiasi langkah selanjutnya dengan mengundang seluruh dokter yang berada di Bali dan pejabat atau tim formatur yang terlibat dalam pembentukan FK Unud. (Pangkahila,1987)
Pada kenyataannya, tekad saja tidak cukup untuk membentuk fakultas kedokteran. Beberapa persyaratan harus dimiliki seperti fasilitas dan tenaga pengajar. Dr. A.A. Made Djelantik paham betul bahwa persyaratan tersebut bukanlah persyaratan yang mudah, mengingat kondisi Bali pada saat itu. Namun, ketersediaan dan dukungan dari seluruh dokter yang berada di Bali dan tim panitia pada rapat kedua merupakan pemantik semangat terbentuknya FK Unud. (Pangkahila, 1987.)
Dari sini, kita dapat merefleksikan nilai kesejawatan yang berada pada FK Unud. FK Unud tidak dapat berdiri hanya karena dorongan dari luar, dari Gubernur dan Presiden, tapi juga karena dukungan dari dalam, dari nilai kesejawatan. Nilai kesejawatan muncul karena adanya self-awareness dari dokter-dokter yang berada di Bali untuk saling membantu.
Setelah membulatkan tekad dan tujuan, satu persatu persyaratan untuk mendirikan fakultas terpenuhi. Dimulai dari tempat belajar, didirikannya Gedung Khusus Fakultas Kedokteran, dan fasilitas dan alat laboratorium dari ‘School for Science Teaching’, Singaraja. Semua persyaratan, yang dibayangkan akan sulit didapatkan, ternyata didapatkan dengan mudah. Hal ini berkat pihak-pihak yang mendukung berdirinya FK Unud demi kebaikan masyarakat Bali itu sendiri. Lalu persyaratan terakhir, tenaga pengajar. FK Unud memutuskan untuk memanggil dokter-dokter, sarjana kelahiran tanah Bali untuk mengabdi membangun FK Unud. Hingga akhirnya ketiga syarat dapat dipenuhi, terbitlah Surat Keputusan Menteri PTIP pada tanggal 19 Agustus 1962 nomor 104/62 yang menetapkan berdirinya Universitas Udayana dan surat tersebut dikukuhkan oleh Presiden Soekarno dengan Surat Keputusan nomor 18 tahun 1963 bertanggal 31 Januari 1963. (Pangkahila, 1987.)
Kita dapat meninjau mengapa pemenuhan persyaratan untuk didirikan FK Unud dapat mudah dilakukan. Pertama, dorongan dari Presiden dan Gubernur yang mempercepat birokrasi, terlebih penokohan Soekarno sangat kuat di Bali karena Ibunya berasal dari Bali. Kedua, desakan sebuah negara untuk menerapkan welfare state, dimana negara harus bisa melindungi kesehatan masyarakatnya. Tidak hanya kesehatan secara harfiah, tapi juga kebutuhan sosial, finansial, dan lainnya. Ketiga, adalah karena latar belakang masalah yang kuat, Bali kekurangan tenaga kesehatan.
2.
Menelaah Menggunakan Sudut Pandang Statuta FK Unud
Universitas Udayana memiliki 13 fakultas, dan salah satunya adalah fakultas kita, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Universitas Udayana tersendiri sudah memiliki visi, misi, dan tujuan, dan setiap fakultas memiliki visi, misi, dan tujuannya tersendiri. Berikut adalah visi dan misi dari Universitas Udayana:
VISI
Terwujudnya perguruan tinggi yang unggul, mandiri, dan berbudaya
MISI
- Menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang memiliki moral/etika/akhlak dan integritas yang tinggi sesuai dengan tuntutan masyarakat lokal, nasional, dan internasional;
- Mengembangkan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan masyarakat dan bangsa;
- Memberdayakan Unud sebagai lembaga yang menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat; dan
- Menghasilkan karya inovatif dan prospektif bagi kemajuan Unud serta perekonomian nasional.
Sementara itu, setiap fakultas memiliki visi dan misinya tersendiri. Fakultas Kedokteran memiliki visi dan misi sebagai berikut:
VISI
Menjadikan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sebagai lembaga pendidikan kedokteran dan kesehatan yang mampu menghasilkan lulusan yang unggul, mandiri, dan berbudaya serta mempunyai daya saing di tingkat nasional dan internasional pada tahun 2025.
MISI
- Meningkatkan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bertaraf nasional dan internasional, berlandaskan budaya, moral, dan integritas yang tinggi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
- Mewujudkan fakultas yang mandiri dan profesional dalam pengelolaan dan pengembangan institusi serta mempunyai tata kelola yang baik (good corporate governance).
Kita dapat mencermati repetisi Unggul, Mandiri, dan Berbudaya, yang berada pada visi dan misi Universitas dan Fakultas. Ketiga nilai tersebut merupakan nilai yang dipegang oleh Universitas Udayana yang diterjemahkan di tiap fakultas. Artinya, nilai tersebut dipegang oleh seluruh civitas akademika universitas udayana termasuk lulusannya. Akan tetapi, apa yang dimaksud akan ketiga hal tersebut? Apa saja indikator terkait hal yang tercantum di dalamnya?
Menurut data yang tercantum pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, indikator unggul adalah sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi, daya saing dan bijaksana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk meningkatkan martabat bangsa dan negara serta kemanusiaan (cakra widya prawartana). Indikator mandiri adalah sumber daya manusia yang memiliki kepribadian yang tangguh dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan yang berkembang secara dinamis. Indikator berbudaya adalah sumber daya manusia yang memiliki kepekaan dan ketajaman nurani serta mampu memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya lokal yang bersifat universal untuk berinteraksi di masyarakat. Ketiga nilai ini adalah nilai pondasi yang seharusnya menjadi tujuan dari setiap pembelajaran, baik akademik dan non-akademik, yang berada di universitas udayana.
3.
Menelaah Menggunakan Sudut Pandang Etimologi Viva Hippocrates
Hippocrates atau yang dikenal sebagai The Father of Medicine (Bapak Ilmu Kedokteran) adalah seorang dokter Yunani kuno yang lahir sekitar tahun 460 SM di Kos, sebuah pulau Aegean. Hippocrates adalah orang pertama yang mempercayai bahwa penyakit tidak ada hubungannya dengan takhayul atau roh. Hal ini membawa revolusi besar pada ilmu kedokteran. Selain itu, Hippocrates juga dikenal dengan karya-karyanya, seperti Corpus, Crisis Theory, dan berbagai penemuannya di bidang kedokteran (Garisson dan Fielding, 1966). Hippocrates sangat menjunjung tinggi doktrin klinis tentang observasi dan dokumentasi. Doktrin ini menyatakan bahwa dokter mencatat hasil observasi mereka dan metode yang digunakan dengan sejelas-jelasnya sehingga nantinya catatan ini dapat digunakan oleh dokter lainnya. Setelah beberapa lama, catatan-catatan ini digabungkan dan terciptalah The Hippocratic Corpus, sebuah kumpulan tulisan yang berisi materi, penelitian, catatan, dan filosofi tentang berbagai subjek kesehatan (Chadwick dan Mann, 1950).
Sumpah Hippocrates (The Hippocratic Oath), sumpah yang diambil oleh calon dokter, murid dari Hippocrates, adalah salah satu ‘janji’ tertua (Jones, 1868). Meskipun mengalami modifikasi dari bentuk awal dan sekarang, sumpah tersebut adalah bentuk etik kedokteran pertama yang masih digunakan hingga saat ini. Kontekstualisasinya, setiap orang yang dinyatakan lulus sebagai dokter wajib mengucapkan sumpah tersebut sebelum turun praktek di dunia nyata.
Pengobatan Hippocrates dikenal dengan profesionalisme yang kuat, disiplin, dan praktik yang terstruktur. Hippocrates mengatakan bahwa dokter harus selalu berbaik hati, jujur, tenang, pengertian, dan serius. Dalam praktiknya, Hippocrates sangat memperhatikan detail dari segala aspek, seperti pencahayaan, personel, instrumen, posisi pasien, dan teknik bebat tekan. Bahkan ia selalu memotong kukunya sehingga tetap pada panjang tertentu (Garisson dan Fielding, 1966).
Peninjauan pelafalan Viva Hippocrates dapat ditelaah secara etimologis, arti kata, dan historis, dari sejarah. Secara etimologis, Viva berasal dari bahasa Italia yang berarti ‘live, may he/she live’ atau ungkapan bahasa ‘hidup X’. Oleh karena itu, Viva Hippocrates dapat diartikan sebagai Hidup Hippocrates. Ungkapan tersebut dimaksudkan untuk menghargai dan meneruskan ajaran-ajaran Hippocrates. Secara historis, pada awal FK Unud berdiri, hanya terdapat prodi kedokteran sehingga jargon yang dilafalkan adalah Viva Hippocrates, yang secara gamblang Hidup Bapak Kedokteran. Kami menelaah bahwa jargon ini telah dilafalkan sejak FK Unud hanya memiliki satu prodi. Meskipun setelah prodi kedokteran berdiri prodi-prodi lain, hingga terdapat enam prodi seperti sekarang, Viva Hippocrates telah mendarah daging karena aspek historisnya yang kuat.
Terlepas dari keterbatasan informasi yang kita miliki, kita dapat meneladani sifat dan hasil karya dari Hippocrates. Dimulai dari doktrin klinisnya, bahwa kita harus mengobservasi secara detail dan menggunakan metode sejelas-jelasnya. Kontekstualisasi yang dapat kita lakukan adalah mempercayakan diri kita kepada sains, catatan atau jurnal yang absah yang terus berkembang, sehingga kita dapat menjadi tenaga kesehatan yang baik. Selanjutnya, kita dapat mengaplikasikan landasan etika yang berasal dari Hippocratic Oath tersebut. Meskipun secara nyata hanya calon dokter yang dapat menggunakan sumpah tersebut, dari sana kita mempelajari bahwa sumpah tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, profesionalitas, saat menjadi tenaga kesehatan nanti. Terakhir, bagaimana Hippocrates meneruskan ajarannya dan memiliki teman sejawat yang membantu mengumpulkan The Hippocratic Corpus hingga berkembang menjadi ilmu kesehatan yang bermanifestasi dalam buku, jurnal, dan lainnya, adalah hal yang harus diteladani.
Memahami Identitas yang Kita Miliki
Menggunakan ketiga sudut pandang tersebut, kita dapat menelaah nilai-nilai yang dimiliki oleh FK Unud, yang membentuk identitas FK Unud. Dari sejarah pembentukan FK Unud, kita dapat menelisik bahwa nilai kesejawatan merupakan nilai yang membantu membentuk FK Unud. Dari Hippocrates dan Statuta FK Unud, kita mendapatkan bayangan seperti apa nilai-nilai yang dimiliki dan dituju oleh mahasiswa FK Unud. Kami mengetahui betul bahwa proses penggalian identitas FK Unud yang kami tidak sempurna, bukan hanya karena kekurangan data, tapi juga kemampuan kami dalam mengolah data yang kami himpun. Tidak menutup kemungkinan juga bagi Civitas Akademika FK Unud lainnya untuk menelaah identitas FK Unud menggunakan sudut pandang lain. Proses penemuan identitas harus dimulai, sekecil apapun langkahnya.
Pertanyaan selanjutnya, untuk kepentingan apa identitas ini dibentuk? Identitas ini dibentuk agar kita memiliki rasa kepemilikan terhadap FK Unud sendiri. Ketika kita memiliki rasa kepemilikan, kita akan tergerak untuk membawa civil society FK Unud ke arah yang lebih baik, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Konkritnya, rasa kepemilikan yang muncul karena aktualisasi diri terhadap FK unud tersebut menjadi hal yang mengikat setiap individu untuk mengeluarkan pendapat, membenahi FK Unud, atau mengambil tindakan nyata guna membawa FK Unud ke arah lebih baik. Selain itu, setiap individu juga akan diuntungkan karena lingkungan FK Unud telah berkembang baik secara tak kasat mata melalui nilai-nilai yang membentuk identitas, atau pun adaptasi sistem yang lebih baik karena desakan dari individu-individu yang menuntut perbaikan terhadap FK unud.
Kita perlu memahami bahwa munculnya identitas merupakan sebuah proses. Civitas akademika FK Unud perlu memahami peran identitas sebagai bentuk aktualisasi diri individu terhadap FK Unud dan perlu memahami bahwa mereka memiliki peran untuk memberikan proses agar individu lain dapat mengaktualisasi dirinya terhadap FK Unud. Dari sana, akan muncul individu-individu baru yang dapat membantu untuk membangun FK Unud. Meskipun, kapan kita akan memunculkan identitas kita sebagai bagian dari FK Unud adalah kebebasan kita.
Daftar Pustaka
- Castells, M., 2009. The Power Of Identity. Chichester: Wiley-Blackwell.
- Chadwick, J., & Mann, W. N., 1950. The medical works of Hippocrates. Oxford Blackwell Scientific Publications.
- Garrison, Fielding H., 1966. History of Medicine. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
- Jones, W.H.S., 1868. Hippocrates Collected Works I. Cambrodge: Harvard University Press.
- Katz, H., 2006. Gramsci, Hegemony, and Global Civil Society Networks. VOLUNTAS: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, 17(4), pp.332-347.
- Pangkahila, W, E. Sukardi, S. Winata, et al., 1987. Butir-butir sejarah perkembangan fakultas kedokteran universitas udayana 1962-1987. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
- https://fk.unud.ac.id/?page_id=125 https://www.unud.ac.id/in/tentang-unud18-Visi-Misi-dan-Tujuan.html
0 Comments
Trackbacks/Pingbacks