Interprofessional Education (IPE) FK Unud Terkesan Terburu-buru bagi Mahasiswa

Interprofessional Education (IPE) FK Unud Terkesan Terburu-buru bagi Mahasiswa

Dewasa ini Indonesia tengah menghadapi tantangan baru dalam memasuki era globalisasi. Era globalisasi merupakan era kompetitif dimana negara-negara di seluruh dunia berusaha untuk meningkatkan pembangunan dalam segala bidang. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan yang utama yaitu sumber daya manusia yang ada. Sumber daya manusia (SDM) menjadi suatau komponen yang penting karena manusialah yang berperan dalam setiap proses pembangunan yang akan dilakukan. Hal terpenting yang harus dimiliki oleh SDM adalah keinginan untuk  melakukan  perbaikan  di  segala bidang termasuk pendidikan, karena pendidikan merupakan salah satu komponen  dari sistem pembangunan yang dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satunya pendidikan untuk tenaga kesehatan.

Menurut (Steinert, 2005 dalam Bennett, Gum, Lindeman, Lawn, McAllister, Richards, Kelton, & Ward, 2011), tenaga kesehatan didefinisikan sebagai tenaga profesional yang memiliki tingkat keahlian dan pelayanan yang luas dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang berfokus pada kesehatan pasien. Tenaga kesehatan sebagaimana yang dijelaskan di atas meliputi perawat, dokter, dokter gigi, bidan, apoteker, dietisien, dan kesehatan masyarakat. Tenaga kesehatan yang profesional menjadi bagian yang sangat penting di era globalisasi seperti sekarang ini.

Tenaga kesehatan yang professional, memerlukan suatu pendidikan yang professional bagi calon tenaga kesehatan. Maka untuk mewujudkan hal tersebut pendidikan yang mengajarkan bagimana menjalin kolaborasi dan komunikasi sangat dibutuhkan bagi calon tenaga kesehatan untuk dapat menjadi tenaga kesehatan yang profesional. Pendidikan yang mengajarkan bagaimana berkomunikasi dan berkolaborasi menjadi suatu hal yang penting dalam dunia kesehatan karena selain untuk membangun kerjasama tim yang baik, kurangnya komunikasi dan kolaborasi dapat berakibat buruk bagi pasien. (Sedyowinarso et al., 2011). Selain itu hal ini juga menyebabkan kesalahan atau keterlambatan dalam pemberian pengobatan dan diagnosis terhadap pasien yang yang berpengaruh terhadap outcome pasien. Maka dari itu, pendidikan bagi calon tenaga kesehatan menjadi hal yang mendasar untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap pasien. (American Association of Critical-Care Nurses, 2005, dalam Poore, Cullen, Schaar, 2014). Sebagai upaya meningkatkan kualitas calon tenaga kesehatan Universitas Udayana, khususnya Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud) pada tahun ajaran 2015/2016 mulai menerapkan metode pendidikan professional. Metode pendidikan professional tersebut adalah interprofessional education.

Interprofessional education (IPE) adalah suatu metode pembelajaran yang interaktif dan berbasis kelompok untuk menciptakan suasana belajar kolaborasi untuk mewujudkan praktik kolaborasi di lapangan kerja. Pembelajaran ini juga bertujuan untuk menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan hubungan antar organisasi sebagai proses professionalisasi. (Royal Collage of Nursing, 2006 dalam Ulung Kusuma .D, 2014). Mekanisme pelaksanaan IPE harus melibatkan dua atau lebih kelompok mahasiswa dari program studi kesehatan yang berbeda melakukan sebuah kolaborasi dalam proses pembelajaran untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu. Sehinnga IPE menjadi sebuah pendidikan interdisiplin dimana professional kesehatan belajar mengenai kolaborasi dalam lintas disiplin ilmu, dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan, dan nilai dalam bekerjasama dengan profesi kesehatan lainnya. (CIHC, 2008 dalam Ulung Kusuma .D, 2014). Hal yang sama juga diterapkan di FK Unud.

FK Unud per tahun 2015 telah mulai menerapkan pendidikan professional (IPE) ini yang pertama diterapkan pada angkatan 2014. IPE di FK Unud telah direncanakan sejak tahun 2012. Pada tahun 2012 diawali dengan pencarian informasi mengenai IPE. Pencariaan Informasi serta persiapan teknis dan administrasi dilakukan hingga tahun 2014. Pada tahun 2014 kementrian Pendidikan Nasional menyusun sebuah draff kurikulum mengenai IPE tersebut, dan mulai diterapkan pada tahun 2015. Tujuan dari diterapkannya adalah untuk melatih calon-calon tenaga kesehatan agar menjadi tenaga kesehatan yang bermutu. Dalam pelaksanaannya,  IPE di FK Unud melibatkan enam program studi yang ada di FK Unud. Keenam program studi tersebut meliputi, PS. Pendidikan Dokter, PS. Fisioterapi, PS. Ilmu Keperawatan, PS. Ilmu Kesehatan Masyarakat, PS. Psikologi, dan PS. Pendidikan Dokter Gigi. Perencanaan pendidikan di FK Unud akan mengambil setiap semester ganjil untuk mahasiswa mengikuti program pendidikan IPE.

Ide untuk melibatkan setiap semester mahasiswa ke dalam kegiatan IPE adalah untuk membiasakan mahasiswa terjun langsung ke lapangan dan berhadapan langsung dengan masyarakat. dr. Wira Kusuma selaku ketua program IPE di FK Unud menyebutkan dalam setiap semester yang dilewati tidak hanya melakukan hal yang sama, melainkan saat semester awal dimulai dari pengenalan serta mind mapping  apa yang akan dilakukan di lapangan. Setelah hal tersebut dilewati, semester selanjutnya akan mulai diajarkan untuk mengindentifikasi permasalahan yang ada di masyarakat. Setelah permasalahan terindentifikasi dilanjutkan dengan perencanaan tindakan yang akan dilakukan. Perencanaan akan dilanjutkan dengan aksi langsung untuk menangani permasalahan. Hingga pada semester ke tujuh mahasiswa dapat menggelar sebuah pameran karya ataupun simulasi dari pemecahan masalah yang sudah dilakukan. Dapat dikatakan untuk mencapai sebuah pemecahan masalah harus melewati proses-proses yang ada.

Berbicara mengenai proses, dr. Wira Kusuma kembali mengatakan bahwa yang terpenting dari IPE di FK Unud adalah setiap proses yang dilewati mahasiswa. Karena dari proses tersebut mhasaswa akan lebih mudah beradaptasi ketika menemukan situasi yang sama seperti apa yang pernah dilewati. Proses yang begitu panjang diterapkan sembari membantu masyarakat untuk memiliki prilaku sehat. Sehingga dalam proses-proses tersebut mahaisiwa juga hendak memikirkan cara bagaimana cara mencegah sebuah penyakit sehingga kedepannya tercipta masyarakat yang memiliki prilau sehat sebulum harus ke rumah sakit ketika terserang sebuah penyakit. Sistem pelaksanaan yang melibatkan mahasiswa langsung dalam memecahkan masalah dan langsung berhadapan dengan masyarakat tentunya menjadi pembelajaran yang berharga bagi mahasiswa.

Berhadapan langsung dengan masyarakat memiliki banyak manfaat bagi mahasiswa khususnya calon-calon tenaga kesehatan, karena mahasiswa dapat secara langsung berhadapan dengan kasus nyata dan mulai mencari penyelesaiannya sesuai dengan keadaan yang ditemui. Hal tersebut dapat melatih keterampilan mahasiswa dalam memecahkan suatu permasalahan yang terjadi di dunia kerja nantinya. Selain itu, dengan melibatkan keenam prodi yang merupakan calon-calon tenaga kesehatan dapat melatih kemampuan komunikasi dan kolaborasi mahasiswa antar saru dengan yang lainnya. Secara umum IPE sangat bermanfaat bagi mahasiswa jika program tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sistem yang tepat.

Berbicara mengenai kesungguhan sebuah sistem pembelajaran, hendaknya setiap sistem yang diterapkan telah memiliki perencanaan yang matang dan telah dipertimbangkan segalanya. Namun yang ditemukan sekarang ini, penerapan program IPE di FK Unud terlihat belum matang dan membingungkan. Mengapa demikian? Temuan-temuan di lapangan terlihat mahasiswa yang menjakankan program IPE masih kebingungan dan tidak memiliki persepsi yang sama mengenaitugas-tugas ataupun urutan yang akan dilakukan di lapangan. Jalannya program yang kurang sistematis di FK Unud menyebabkan mahasiswa kebingungan dalam mengerjakan tugas maupun saat dilapangan. Mahasiswa sangat bingung mengenai apa yang harus mereka lalukukan setelah melakukan tugas sebelumnya. Kebingungan tersebut juga tidak bisa dipecahkan karena fasilitator atau dosen pembimbingnya juga tidak mengerti dan tidak memiliki kesepahaman yang sama baik mengenai prinsip, mekanisme di lapangan, point penilaian, dan teknis penilain mengnai program IPE yang diterapkan di FK Unud.

Berbicara mengenai proses penilaian, hasil lapangan dari IPE diwacanakan akan dimasukkan ke nilai semester mahasiswa. Namun pada kenyataannya teknis maupun point penilaian belum jelas diketahui baik dari mahasiswa maupun dosen fasilitator sendiri, sehingga hingga saat ini banyak kelompok mahasiswa yang belum mendapatkan nilai dan bahkan belum mengikuti ujian IPE tersebut. Jika masih tabu seperti ini maka mahasiswa yang tidak mendapatkan nilai akan merasa dirugikan karena hal tersebut akan berpengaruh pada IPK mahasiswa pada semester tersebut. Tak hanya itu, IPE juga diwacanakan akan menjadi program yang dapat menggantika kuliah kerja nyata(KKN). Perbandingannya yaitu jika KKN, mahasiswa hanya melakukannya sekali selama masa perkuliahan dan hanya dalam waktu 4 sampai 5 minggu saja. Sedangkan IPE direncanakan akan menawarkan kegiatan yang lebih intens untuk terjun ke masyarakat dalam kurun waktu 1 atau 2 minggu sekali. Namun pada kenyataannya di FK Unud, selama satu semester IPE hanya berlangsung empat kali terjun kelapangan dan bahkan kurang. Jadi jika dibandingkan KKN yang selama 4 sampai 5 minggu bertemu setiap hari di desa dan tinggal di desa tersebut. Namun IPE yang dalam satu semester hanya bertemu sebanyak 4 kali meskipun dilakukan setia semester ganjil tetap saja jumlah pertemuannya tidak sebanding. Selain itu, tujuan IPE ke masyarakat juga masih dipertanyakan. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa mahasiswa kedoteran ke masyarakat akan memberikan sebuah bantuan atau pelayanan kesehatan, namun pada keyataannya tidak. Mahasiswa seringkali bingung ketika harus berhadapan dengan hal tersebut, karena hasil dilapangan disebutkan bahwa adanya ketidaksamaan antara sosialisasi IPE tersebut baik dari informasi dosen maupun mahasiswa.

Kekurangan informasi dapat mengakibatkan kebingungan di semua pihak, sehingga menyebabkan  mahasiswa, pengurus IPE di FK Unud, serta masyarakat tidak memiliki pemahaman yang sama baik mengenai point utama penerapan IPE di FK Unud, tujuan serta standar mahasiswa yang diinginkan setelah melewati IPE. Pementingan proses pada setiap jalannya kegiatan seperti yang disebutkan di atas tidak dapat ditangkap oleh mahasiswa. Sistem-sistem yang ingin diterapkan lainnya seberti teknis pemberian informasi pada kelompok, teknis pelaksanaan di lapangan, serta teknis penilaian yang akan dilakukan di lapangan masih kurang disosialisasikan pada mahasiswa. Sehingga mahasiswa tidak memahami apa yang diinginkan atau yang menjadi point penting dalam IPE tersebut. Sehingga dapat dikatakan belum adanya kesamaan pandangan mengenai IPE tersebut antara mahasiswa, pengurus IPE di FK Unud serta masyarakat.

Kesimpulan dan Saran

Secara garis besar, program IPE merupakan program yang baik untuk menunjang pendidikan professional.  Namun dalam pelaksanaannya memerlukan perencanaan yang matang sehingga akan memperoleh pelaksanaan yang bermanfaat bagi mahasiswa. Serta diperlukan sosialisasi untuk menyamakan pandangan mengenai IPE tersebut. Sehingga program yang diterapkan tidak terkesan timpang dan terburu-buru.

Saran yang dapat dianjurkan dalam pelaksanaan IPE di FK Unud kedepannya yaitu sebagai berikut.

  1. Program IPE di FK Unud harus lebih direncanakan dengan matang, sehingga pelaksanaan lebih sistematis dan terstruktur
  2. Kedepannya agar lebih memperjelas segala informasi mengenai IPE di FK Unud agar mahasiswa beserta dosen pembimbing memiliki kesepahaman yang sama mengenai program tersebut
  3. Sosialisasi yang berkala sangat penting dilakukan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai
  4. Program IPE di FK Unud ini hendaknya dilaksanakan setahap demi tahap agar tidak terkesan terburu-buru.
  5. Jika sistem maupun mekanisme IPE di FK Unud belum dirasa matang, maka nilai ujian tidak dimasukan ke dalam nilai semester.

Daftar Pustaka

  1. Bennet, P.N, Gum, L., Lindeman, I., Lawn, S., McAllister, S., Richards, J., Kelton, M., Ward, H. (2011). Faculty perceptions of interprofessional education,Nurse Education Today, 31, 571-576
  2. Israbiyah, Siti. R. Persepsi Mahasiswa tentang Interprofessional Education (IPE) di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. 2016
  3. Sedyowinarso, M., Fauziah, F.A., Aryakhiyati, N., Julica, M.P, Munira, L., Sulistyowati, E., Masriati, F.N., Olam, S.J., Dini, C., Afifah, M., Meisudi, R., Piscesa, S. (2011).Persepsi dan kesiapan mahasiswa & dosen profesi kesehatan terhadap model pembelajaran pendidikan interprofesi: Kajian nasional mahasiswa ilmu kesehatan Indonesia. Proyek HPEQ Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
  4. Poore, J.A, Cullen, D.L, Schaar, G.L. (2014). Simlation-based interprofessional education guided by Kolb’s experiential learning theory.Clinical Simulation in Nursing, 10, e241-e247
  5. Ulung Kusuma. D. Persepsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap Interprofessional Education. Jakarta. 2014

 

VAKSIN PALSU, APA YANG HARUS DILAKUKAN

VAKSIN PALSU, APA YANG HARUS DILAKUKAN

           Kesehatan saat ini menjadi perhatian oleh pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari dibangunnya fasilitas kesehatan dan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Perkembangan kesehatan di Indonesia ini diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian di Indonesia. Pelayanan kesehatan yang dikembangkan mulai dari tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan dan Pelayanan Darurat Medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium dan pelayanan kefarmasian (Depkes RI,2009)

Pelayanan kesehatan di Indonesia tentunya menitik beratkan pada program preventif. Menurut (Oktavia,2013) upaya preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Preventif secara etimologi berasal dari bahasa lati pravenire yang artinya datang sebelum/ antisipasi/ mencegah untuk tidak terjadi sesuatu.  Dalam pengertian yang luas preventif diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan atau kerugian bagi seseorang.

Tindakan preventif yang paling awal dilakukan pada masyarakat dan sedang digalakkan saat ini adalah Vaksinasi. Menurut Peraturan Mentri Kesehatan No 54, 2013 vaksinasi adalah pemberian vaksin yang khusus diberikan dalam rangka menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga apabila suatu  saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan tidak menjadi sumber penularan. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin menurut Peraturan Mentri Kesehatan No 54, 2013 adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulakan kekebalan secara spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

Program vaksinasi di Indonesia yang sudah berjalan tentunya tidak selalu berjalan dengan baik. Masalah yang saat ini menimpa dunia vaksin Indonesia adalah penemuan vaksin palsu yang ternyata sudah beredar bertahun-tahun. Kejadian vaksin palsu berawal ditemukannya seorang bayi yang meninggal dunia pasca divaksinasi, pada Hari Rabu,18/05/2016 di Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta Timur. Bayi yang berusia 5 tahun dengan inisial R tersebut meninggal pasca mengalami demam per-tanggal 13 – 15 Mei 2016 dan kemudian kondisinya semakin memburuk pada Hari Selasa, 17/05/2016 sampai Hari Rabu,18/05/2016. Setelah dirunut, kondisi kesehatan R menjadi lebih buruk pasca mengikuti suntik imunisasi DPT 3 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Rabu (11/5/2016). Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri melakukan pendalaman selama 3 bulan dan kemudian berhasil membongkar adanya jaringan pemalsu vaksin pada 21/06/2016. Vaksin yang dipalsukan adalah vaksin dasar, yang wajib diberikan untuk bayi: campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin). Pabrik vaksin palsu ditemukan, yaitu di Perumahan Puri Bintaro Hijau, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Menurut pengakuan para tersangka, pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Polisi baru menemukan keberadaan produk vaksin palsu ini di tiga provinsi, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek mengungkapkan hasil penelitian terkait kandungan vaksin palsu yang beredar di masyarakat dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX di gedung DPR RI pada 14/07/2016 yang mana menjelaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menemukan empat vaksin palsu dari total 39 sampel vaksin yang diambil dari 37 Fasilitas Kesehatan di sembilan provinsi di Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir oleh mentri kesehatan tentang vaksin palsu, dapat dilihat beberapa jenis vaksin palsu dan kandungannya antara lain: Tripacel yang mengandung NaCl dan Hepatitis B, Serum Anti Tetanus yang mengandung NaCl, Pediacel yang mengandung Vaksin Hepatitis B. Secara umum beberapa vaksin palsu yang beredar di masyrakat memiliki kandungan yang harus ada, kandungan yang seharusnya ada  anatara lain : Tripacel memiliki kandungan Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus, Vaksin Aseluler, sedangkan Serum Anti Tetanus memiliki kandungan Serum Anti Tetanus dan Vaksin Pediacel seharusnya mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus, Vaksin Aseluler, Pertusis dan Vaksin Polio. Penggunaan vaksin palsu menyebabkan efek yang diharapkan dari proses vaksinasi tidak didapatkan. Selain itu jika dilihat pada setiap jenis zat yang dimasukan ke dalam tubuh akan memberikan efek bagi tubuh diantaranya :

  1. NaCl yang dapat menyebabkan pembekakan pada ginjal yang dipicu oleh ginjal terlalu bekerja ekstra karena harus menyaring kandungan natrium dan mineral yang terkandung di dalamnya.
  2. Hepatitis B yang dapat menyebabkan kekebalan tubuh terhadap virus hepatitis B, tetapi dalam kasus ini vaksin hepatitis B yang diberikan 2 kali dan secara berdekatan waktunya sehingga tidak memberikan efek untuk meningkatkan kekebalan dan justru hanya membuang-buang uang saja.

Selain efek diatas, vaksin palsu juga akan menimbulkan efek lain diantaranya:

  1. tubuh mengalami demam tinggi yang disertai laju nadi cepat,
  2. mengalami sesak napas
  3. anak akan susah makan
  4. Infeksi

Menurut Vaksinolog dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc-VPCD, risiko terberat dari pemberian vaksin palsu pada anak adalah terjadi infeksi. Komposisi kandungan vaksin palsu tentu tidak steril. Dampaknya, anak tersebut tidak akan mendapat efek dari perlindungan sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit.

Per-14 Juli 2016, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengumumkan daftar RS yang menggunakan vaksin palsu beserta, sales penyalur, juga modusnya. Yaitu:

NoNama Rumah SakitSalesModus Operandi
1RS Dr. Sander CikarangSales Juanda (CV Azka Medika)Modus operandi tersangka mengajukan penawaran harga vaksin via email terhadap pihak RS dan disetujui Direktur RS.
2RS Bhakti Husada (Terminal Cikarang)Sales Juanda (CV Azka Medika)Modus operandi tersangka mengajukan penawaran harga vaksin via email terhadap pihak RS dan disetujui Direktur
3RS. RS Sentral Medika (Jalan Industri Pasir Gembong)Sales Juanda (CV Azka Medika)Modus operandi tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang terhadap pihak RS dan disetujui Direktur RS.
4RSIA Puspa Husada (Bekasi Timur)Sales Juanda (CV Azka Medika)Modus operandi tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang terhadap pihak RS dan disetujui Direktur RS.
5RS Karya Medika (Tambun)Sales Juanda (CV Azka Medika)Modus operandi tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang terhadap pihak RS dan disetujui Direktur RS.
6RS Kartika Husada (Jl MT Haryono Setu Bekasi)Sales Juanda (CV Azka Medika)Modus operandi tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang terhadap pihak RS dan disetujui Direktur RS.
7RS Permata (Bekasi)Sales Juanda (CV Azka Medika)Tersangka mengajukan proposal penawaran harga vaksin melalui CV Azka Medical. Kemudian dari bagian pengadaan mengajukan permohonan pengadaan kepada manajer purchasing yang kemudian dimintakan persetujuan kepada Direktur RS sebelum dilakukan pemesanan obat atau vaksin.
8RSIA Gizar Villa Mutiara (Cikarang)Sales Juanda (CV Azka Medika)Tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang pihak RS dan disetujui oleh Direktur RS.
9RSIA Gizar Villa Mutiara (Cikarang)Sales Juanda (CV Azka Medika)Tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang pihak RS dan disetujui oleh Direktur RS.
10RS Harapan Bunda (Kramat Jati, Jakarta Timur)Sales M SyahrulTersangka menawarkan vaksin lewat perawat atas nama Irna (ditahan sebagai penyedia botol tersangka Rita dan Hidayat) kemudian Irna meminta tanda tangan dokter dan dimasukkan sebagai persediaan rumah sakit.
11RS Elisabeth Narogong (Bekasi)Sales Juanda (CV Azka Medika )Tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang pihak rumah sakit dan disetujui oleh Direktur RS.
12RS Hosana (Lippo Cikarang)Sales Juanda (CV Azka Medika)Tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang pihak rumah sakit dan disetujui oleh Direktur RS.
13RS Hosana (Bekasi, Jalan Pramuka)Sales Juanda (CV Azka Medika)Tersangka mengajukan penawaran harga vaksin ke bagian pengadaan barang pihak rumah sakit dan disetujui oleh Direktur RS.

 

Kepala Badan POM Tengku Bahdar Johan Hamid menyatakan kebutuhan vaksin yang banyak di masyarakat dan juga masyarakat yang menginginkan vaksin tambahan membuat distributor illegal memanfaatkan kesempatan ini. Para distributor vaksin palsu menawarkan vaksin palsu dengan harga murah, yakni lebih murah Rp.200.000 hingga Rp.400.000 dari harga vaksin asli ke sarana pelayanan kesehatan. System kerja dari distributor vaksin palsu ini adalah dengan cara datang langsung ke pelayanan kesehatan, membawa vaksin tetapi perusahaan dibelakangnya kurang jelas. Penyaluran system inilah yang menjadi permasalahan dari pihak BPOM dan sering kali para pendisutributor vaksin palsu bisa lolos begitu saja.

Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam penjelasan Kepala Badan POM mengatakan, pengawasan terhadap peredaran vaksin hanya pada sarana kesehatan yang resmi dan  yang memiliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan vaksin. Akibatnya Badan POM kurang dalam mengawasi peredaran vaksin diluar kriteria tersebut sehingga memungkinkan peredaran dari vaksin tersebut.

Kesimpulan yang dapat dipetik dari kejadian diatas adalah adanya vaksin palsu di masyarakat karena adanya peluang oleh produsen illegal untuk memasarkan produk mereka. Pengawasan dari pihak BPOM sangat kurang untuk hal ini, dapat dilihat dari beredarnya vaksin palsu bukan hanya itu kosmetik dan produk konsumen palsu lainnya juga sudah lama beredar. Rumah sakit dalam hal ini sebagai distributor seharusnya melakukan uji sampel terhadap vaksin yang akan digunakan, bukan sekedar setuju akan penawaran harga tetapi juga meperhatikan kualitas barang yang akan digunakan untuk menghindari kejadian seperti ini. Bagi praktisi kesehatan dapat memperhatikan ciri – ciri vaksin untuk membandingkan dengan yang asli, berikut beberapa rekomendasi yang dapat digunakan sebagai acuan :

  1. Memperhatikan rubber stopper (tutup vial) kalau vaksin yang asli menggunakan warna abu, sedangkan vaksin yang palsu terdapat perbedaan warna dengan yang asli.
  2. Kemasan pada vaksin yang asli masih ada segelnya, sedangkan pada kemasan vaksin palsu tidak ada segelnya.
  3. Kemasan vaksin asli biasannya mengkilat, sedangkan kemasan pada vaksin yang palsu cendrung lebih kasar.
  4. Terdapat label yang mencantumkan keterangan soal vaksin pada sampul, sedangkan pada vaksin yang palsu nomor batch yang ada tidak terbaca dengan jelas.

Bagaimana dengan masyarakat yang saat ini bertanya – tanya tentang kejelasan vaksin anaknya atau yang sudah menjadi salah satu korban vaksin palsu? Masyarakat yang menjadi korban sebaiknya segera mengunjungi dokter untuk memeriksakan anaknya kepada dokter atau rumah sakit untuk mengetahui status vaksin pada anak yang bersangkutan.

Kejadian vaksin palsu ini memiliki dampak besar yang mengkhawatirkan bagi kesehatan Negara Indonesia. Kehadiran vaksin palsu juga dikhawatirkan dapat mengurangi jumlah anak yang mengikuti program vaksin, yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Semoga dengan berjalannya waktu dan ditindaknya kasus ini dapat memperbaiki keadaan dan menumbuhkan keinginan masyarakat untuk menggunakan vaksin kembali.

 

Daftar Pustaka

Depkes RI., 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999)..

Oktavia Yuni, 2013, Promotif, Preventif, Kuratif, Rehabilitatif.

Peraturan Mentri Kesehatan. 2013. Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta.

Kompas. 2016. Vaksin Palsu Diproduksi sejak 2003 dan Ditemukan di 3 Provinsi. http://nasional.kompas.com. [diakses tangggal: 24 Agustus 2016]

BBC.2016. BPOM Mengaku Bersalah atas Peredaran Vaksin Palsu. http://www.bbc.com.  [diakses tanggal : 9 September 2016.

KAJIAN CYBERBULLYING DI INDONESIA

“Cyberbullying : Adakah dampaknya bagi kesehatan?”

cyberbullying

Dewasa ini penggunaan internet menjadi kebutuhan bagi setiap masyarakat khususnya di indonesia. selain kegunaannya yang berdampak positif seperti sebagai alat komunikasi dan informasi, internet juga dapat berdampak negatif. Dari anak-anak hingga orang dewasa pasti mengenal dan menggunakan internet untuk berkomunikasi dan untuk memperoleh banyak informasi.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet indonesia mengungkapkan peningkatan yang luar biasa pada tahun 2014 atas kerjasama dengan pihak Pus Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) FISIP Universitas Indonesia, disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia kini telah mencapai angka 88,1 juta. Sesuai dengan jumlah populasi penduduk Indonesia yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 252,5 juta jiwa, maka pengguna internet di Indonesia mengalami pertumbuhan 16,2 juta jiwa dari total 71,9 juta pengguna di tahun 2013 lalu. Usia pengguna internet di Indonesia terdapat pada usia 18-25 tahun atau 49% serta tingkat pendidikan pengakses internet adalah tingkat SMA sederajat sebesar 64,7 % (APJII, 2014)tab

Penggunaan internet membuktikan masyarakat masa kini melakukan komunikasi dan interaksi sosialnya pada sebuah wadah yang bernama media sosial. Di Indonesia  media sosial paling banyak digunakan oleh usia remaja, pada usia-usia tersebut memiliki teman banyak adalah kebutuhan dan kesenangan tersendiri, banyak dampak yang terjadi dari penggunaan media sosial bagi remaja, tidak hanya berdampak positif melainkan juga banyak dampak negatif yang dialami oleh remaja. Cyber-bullying merupakan salah satu dampak negatif yang saat ini menghampiri para remaja (Maulanz H, 2016)

Masih ingatkah dengan Sonya Depari? Remaja asal Medan yang mendadak populer karena dirinya mengaku sebagai anak Deputi BNN Irjen Pol Arman Depari. Pengakuan itu dilontarkan saat dia marah-marah kepada seorang polwan yang menghentikan konvoi seusai Ujian Nasional. Namun hal itu dibantah oleh Irjen Pol Arman Depari. Beliau mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki seorang putri namun tiga orang putra yang berada di Jakarta. hal ini menjadi perhatian publik dan mereka langsung membully akun Instragram sonya dan mengomentari foto – foto di akunnya. komentar – komentar yang dilontarkan publik padanya banyak berisi makian. Pemberitaan bertubi – tubi serta caci maki yang dia terima di media sosial membuat Sonya trauma. Bahkan ayah Sonya jatuh sakit akibat pemberitaan tersebut. Sonya merupakan salah satu dari banyak korban yang mengalami Cyberbullying.

Cyberbullying adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia cyber atau internet. Cyberbullying merupakan kejadian seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi, atau dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler (Choria Y, 2014)

Menurut Kowalski (2008), cyberbullying mengacu pada bullying yang terjadi melalui instant messaging, email, chat room, website, video game, atau melalui gambaran tau pesan yang dikirim melalui telepon selular.

Disimpulkan bahwa cyberbullying  merupakan salah satu bentuk dari bullying secara verbal dan non-verbal yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer atau telepon selular, seperti mengirimkan  pesan singkat yang berisi kebencian terhadap seseorang, mengatakan hal-hal yangmenghina perasaan orang lain dalam sebuah chat, atau menyebarkan isu yang tidak benar mengenai seseorang melalui internet juga merupakan salah satu bentuk dari cyberbullying (Maulida, 2011)

Umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying dan cyberbullying, yaitu : Pelaku (bullies), Korban (victims) dan Saksi peristiwa (bystander). Beberapa jenis dari cyberbullying yang dilakukan oleh pelaku sebagai berikut :

  • Flaming(terbakar): yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah “flame” ini pun merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.
  • Harassment(gangguan): pesan-pesan yang berisi gangguan yang menggunakan email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan secara terus menerus
  • Denigration (pencemaran nama baik): yaitu proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut
  • Impersonation (peniruan): berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik
  • Outing: menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi orang lain
  • Trickery (tipu daya): membujuk seseorang dengan tipu daya agar mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut
  • Exclusion (pengeluaran) : secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari grup online.
  • Cyberstalking: mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar pada orang tersebut (Jalil A, 2015)

Cyberbullying dapat mempengaruhi kesehatan mental. Pelaku bullying ini mencoba untuk masuk ke dalam kepala  dan membuat korban merasa tak berharga dan sengsara. Korban juga selalu takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal ini dapat menyebabkan beberapa kerusakan serius pada kesehatan secara keseluruhan. Korban cyberbullying pada umumnya mengalami masalah kesehatan secara fisik dan mental.

Gejala Fisik: Selera makan hilang, sulit tidur atau gangguan tidur, keluhan masalah kulit, pencernaan dan jantung berdebar-debar.

Gejala Psikologis: Gelisah, depresi, Kelelahan, rasa harga diri berkurang, sulit konsentrasi, murung, menyalahkan diri sendiri, gampang marah, hingga bunuh diri (Dinkes, 2015)

Fenomena cyber bullying akan terus mengerogoti maxresdefaultkesehatan mental remaja, sehingga perlu perhatian banyak pihak dalam mengatasi persoalan ini. Dibutuhkan peran stakeholder kesehatan dan pendidikan serta didukung oleh orang tua untuk bisa ikut serta dalam menanggapi masalah ini yang berjalannya waktu terus menghampiri para remaja. Dibutuhkan adanya program untuk meningkatkan pemahaman pada remaja di sekolah atau kampus, para pendidik dan juga orang tua agar mengenali bahaya cyber-bullying dan dampak jangka panjang yang bisa merusak perilaku dan kesehatan mental para remaja dan dewasa muda.

 

Daftar Pustaka

 

  1. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia., 2014. Jumlah Pengguna Internet Indonesiam.
  2. Choria Y., 2014. Cyberbullying di Kalangan Remaja., Studi tentang Korban Cyberbullying di Kalangan Remaja di Surabaya.
  3. , 2015. Cyberbullying. Amankah buah hati anda.
  4. Jalil A., 2015. Psikolog dari Cyberbullying. Bandung: Universitas UGM
  5. Kowalski, R.M., Limber, S.P., & Agatston, P.W. (2008). Cyberbullying: Bullying in the digitalage. Oxford: Blackwell Publishing.
  6. Maulanz H., 2016. Pengaruh Cyberbullying terhadap kesehatan Mental Remaja. Aceh: Fakultas Kesehatan Masyarakat Muhammadiyah Aceh.
  7. , 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying pada Remaja. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN.