(Ditinjau dari Sudut Pandang Kesejahteraan, Legalitas, dan Dokter Pendamping PIDI)

Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) adalah salah satu usaha pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 29 tahun 2004 dinyatakan bahwa pasien tidak boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran. Oleh karena itu, selama masa koas atau kepaniteraan klinik mahasiswa kedokteran akan diawasi secara ketat oleh supervisinya. Tanggung jawab terletak pada supervisi masing-masing. Oleh karena itu dilaksanakanlah Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) (Depkes RI, 2014).

Program internship ini tidak hanya dilakukan di Indonesia. Di berbagai negara seperti Malaysia dikenal pula dengan sebutan housemanship. Internship adalah suatu proses pemantapan kompetensi mahasiswa kedokteran antara ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dengan keadaan di masyarakat secara terintegratif, komprehensif, madiri, dan menggunakan pendekatan kedokteran keluarga. Program ini telah dilaksanakan sejak Maret 2010. Program ini bukanlah bagian dari pendidikan kedokteran. Menurut UU dikdok No 20 tahun 2013, pendidikan kedokteran yang diselenggarakan oleh FK terdiri atas pendidikan akademik (sarjana, magister, doktor) dan profesi (dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis).

Saat menjalani program ini, dokter yang ada sudah menerima Bantuan Biaya Hidup (BBH). BBH yang diterima dokter dalam program ini lebih murah dengan BBH pada program Pegawai Tidak Tetap (PTT). Berbeda dengan negara lain, di Indonesia BBH yang diterima sekitar 2,5 juta per bulan saat ini. Hal ini disepakati pemerintah mulai dari bulan Oktober 2013 melalui surat Menteri Keuangan nomor S-76/MK.02/2013 (Badan PPSDM Kesehatan). Sedangkan di Malaysia gajinya sekitar RM 4300 atau 13 juta per bulan. Apakah program ini sebuah strategi agar dokter di Indonesia dibayar lebih murah dengan kedok pemerataan pelayanan kesehatan di pelosok Nusantara?

Sudah menjadi rahasia umum kalau di berbagai tempat pembayaran BBH sering mengalami keterlambatan pembayaran. Contohnya saja Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.03.03/I/II/00417/2013 dimana terjadi keterlambatan pembayaran bulan Januari-Maret 2014. Padahal dengan BBH 2,5 juta masih tergolong sangat murah. Berdasarkan Permenakertrans No. 7 tahun 2013 bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) paling lambat ditetapkan tanggal 1 November 2013. UMP merupakan suatu standar minimum yang digunakan para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan, atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Padahal UMP non sektor per Januari 2014 di Jakarta saja Rp 2.441.301,00 (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Itu berarti mahasiswa kedokteran yang kuliah selama lima tahun dibandingkan dengan pekerja (khusunya buruh) yang mungkin tidak kuliah mendapatkan gaji relatif beda tipis. Adilkah ini?

Di Indonesia, perspektif negara mengenai dokter internship masih belum jelas. Ada yang mengatakan sebagai dokter magang, namun melaksanakan peran yang sama dengan dokter lainnya. Sedangkan di negeri Jiran, dokter housemanship disana dianggap pegawai negara tidak tetap. Mereka dipandang sebagai pegawai fungsional sehingga negara memasukkan mereka ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Mereka juga memiliki hak kesejahteraan dan kewajiban pelayanan sesuai tingkatan kompetensi masing-masing.

Di negeri Jiran, dokter yang menjalani program internship mendapatkan suatu perlindungan hukum dan jaminan asuransi karena telah diakomodir dalam sistem (di Malaysia disebut pegawai perubatan). Dengan demikian, otomatis tempat housemanship mereka yaitu di Rumah Sakit menjadi penanggung jawab terhadap risiko kerja dokter internship. Di Indonesia, dokter yang mejalani internship tidak mendapatkan perlindungan hukum dan asuransi atas risiko kerja mereka.  Legal penyelenggaraan program ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 299/Menkes/Per/II/2010 tentang Registrasi Dokter Pasca Internship dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 1/KKI/Per/2010 tentang Registrasi Dokter Program Internship serta UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Akan tetapi masih belum diatur secara jelas hak dan kewajiban dokter internship sehingga mengancam mereka secara hukum apabila kemudian terjadi kecelakaan kerja maupun kesalahan keprofesian. Lalu sudah jelaskah dalam UU aturan mengenai hak dan kewajiban dokter internship di Indonesia? Siapa yang bertanggung jawab terhadap  risiko kerja dokter internship?

Di Indonesia, saat menjalani program internship ini dilaksanakan selama setahun dengan rincian 8 bulan dokter bertugas di rumah sakit dan 4 bulan bertugas di puskesmas. Sebenarnya program ini sudah merancang adanya dokter pendamping yang memiliki kriteria dan kewajiban sesuai dengan yang telah ditetapkan berdasarkan Buku 1 Pedoman Pelaksanaan Internship Dokter Indonesia tahun 2009 pada BAB III poin B hal 16 dalam buku tersebut. Setiap pendamping mendampingi 5-10 peserta internship pada waktu bersamaan dan TIDAK bertanggung jawab terhadap tindakan keprofesian yang diilakukan oleh peserta internship. Sedangkan di Malaysia, housemanship hanya dilakukan di Rumah Sakit dengan pengawasan dari supervisi dokter ahli. Apabila dalam proses housemanship ini peserta tersebut bagus dalam mengikutinya maka disana bisa langsung direkomendasikan untuk mengikuti jenjang yang lebih tinggi yaitu Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sehingga memiliki proyeksi yang jelas akan kemana mengembangkan karirnya. Sedangkan di Indonesia tidak ada hal seperti itu dan setelah mendapatkan STR bisa vakum selama berbulan-bulan sambil menunggu kesempatan berkarir yang baru. Vakumnya ini bisa karena menunggu terbitnya Surat Izin Praktik (SIP) dari pejabat kesehatan kabupaten/kota maupun sebab yang lainnya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertama, PIDI merupakan program yang penting yang perlu diikuti oleh dokter yang belum memiliki STR guna memantapkan kompetensi dokter tersebut. Akan tetapi masih perlu ditinjau ulang mengenai kesejahteraan peserta PIDI agar bisa seadil-adilnya dibandingkan dengan pekerjaan lain. Pada masa internship ini timbul keengganan untuk meminta uang ke orang tua karena sudah bergelar dokter tapi tidak langsung boleh praktik sendiri maka BBH harus dibayar setiap bulan bukan per tiga bulan sekali dan seharusnya meningkat besar BBH yang dibayarkan. Kedua, Hak dan kewajiban yang diatur UU juga masih belum jelas sehingga harus didesak kepada pihak terkait untuk memikirkan nasib beribu-ribu dokter setiap tahunnya. Apalagi dokter pendamping tidak bertanggung jawab terhadap segala tindakan keprofesian yang dilakukan oleh peserta internship. Dokter pendamping sebaiknya juga menjalankan kewajibannya dengan maksimal agar cita-cita luhur peningkatan kesehatan dan kesejahteraan seluruh warga Negara Indonesia dapat terwujud. Ketiga, masa depan peserta PIDI juga sebaiknya diperhatikan agar terlihat manfaat lebihnya dari program ini. Kalau memang program ini bisa merekomendasikan peserta untuk mengikuti PPDS bukankah lebih baik hasilnya. Karena peserta pasti berjuang lebih baik dan profesional kepada pasien dan dokter penanggung jawab. Keempat, agar para peserta internship mendapatkan asuransi kesehatan karena tugasnya yang setiap saat terpapar penyakit. Pihak yang bertanggung jawab terhadap semua permasalahan ini adalah Institusi FK itu sendiri dan Departemen Kesehatan.